Sejarah AJI Gorontalo

JUMAT, 20 November 2009, satu tahun setelah kongres ke-VII AJI Indonesia di Bali, 17 orang jurnalis berkumpul di kantor Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda). Sebuah organisasi non pemerintah yang berkonsentrasi pada isu lingkungan di Gorontalo. Dengan beralaskan karpet merah, para jurnalis “menumpang” tempat di kantor ini sembari mendiskusikan kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di bumi Hulondalo.

Diskusi berjalan lancar. Para jurnalis muda ini sangat antusias. Kekerasan terhadap jurnalis selama pelaksanaan pemilihan wali kota Gorontalo menjadi topik utama. Tak tanggung-tanggung, tercatat 13 kasus kekerasan selama peliputan pemilihan wali kota, tahun 2008. Dan pada 2009, ada tiga kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tercatat. Sehingga total, dalam kurun waktu dua tahun angka kekerasan pers di Gorontalo sebanyak 15 kasus. Pada tahun itu, angka ini merupakan angka kekerasan tertinggi di Indonesia, setelah Jakarta dengan 20 kasus.

Sebelum diskusi itu digelar, para jurnalis itu telah bersepakat untuk mendeklarasikan pembentukan AJI Persiapan Kota Gorontalo. Deklarasi itu kemudian dinamakan “deklarasi karpet merah”. Butir-butir yang tersirat dalam deklarasi karpet merah tetap merujuk pada deklarasi Sirnagalih, yaitu memperjuangkan kebebasan pers, profesionalisme jurnalis, dan kesejahteraan jurnalis, namun lebih khusus di wilayah keresidenan Gorontalo.

Setelah itu, diadakan konferensi pemilihan dan pembentukan pengurus AJI Persiapan Kota Gorontalo periode 2009-2012. Alhamdulilah, yang terpilih pada konfrensi itu sebagai ketua AJI Persiapan Kota Gorontalo adalah Christopel Paino (koresponden Tempo), dan sekretarisnya adalah Ajis Halid (koresponden Trans TV).

Dari hasil konfrensi tersebut dibentuk enam divisi, yakni divisi organisasi, divisi advokasi, divisi serikat pekerja, divisi pembangunan usaha, divisi perempuan, dan divisi pendidikan dan latihan. Usai konfrensi, tugas pengurus yang terpilih adalah melakukan kampanye kebebasan pers dan berbagai persoalan yang sedang dihadapi jurnalis saat itu.

Pembentukan AJI Persiapan Kota Gorontalo telah dipersiapkan sebelumnya, ketika salah seorang delegasi dari Gorontalo, Verrianto Madjowa–saat itu tercatat sebagai koresponden Tempo di Gorontalo dan Manado–mengikuti kongres ke-VII AJI Indonesia di Denpasar, Bali, 28 November 2008. Ia segera menyampaikan amanat pembentukan AJI Persiapan Kota Gorontalo itu kepada para jurnalis muda. Tentunya dengan meminta rekomendasi AJI Kota terdekat, yaitu AJI Kota Manado.

Cita-cita pendirian AJI Kota Gorontalo sendiri sebenarnya sudah ada sejak 2002. Ide itu muncul karena melihat kondisi dunia jurnalis di Gorontalo yang baru saja memerdekakan diri dari Provinsi Sulawesi Utara. Sayangnya, para jurnalis ketika itu kesulitan untuk mempraksiskan ide-ide pembentukan AJI Kota Gorontalo. Dan akhirnya baru bisa terwujud tujuh tahun kemudian.

Lalu pada kongres ke-VIII AJI di Makassar pada Desember 2011, AJI Persiapan Kota Gorontalo resmi menjadi AJI penuh, bersamaan dengan beberapa AJI Kota persiapan lainnya. Dalam perjalanannya, AJI Kota Gorontalo mengalami pasang-surut keanggotaan. Tidak lama setelah konferensi pembentukan AJI Persiapan Kota Gorontalo, sebagian besar para jurnalis yang awalnya ingin berjuang bersama AJI, akhirnya memilih untuk mundur. Persoalan utama adalah belum kuatnya “iman” dalam menahan godaan amplop dari narasumber.

Anggota yang tadinya berjumlah 17 orang dan ikut mendeklarasikan pembentukan AJI Persiapan Kota Gorontalo, akhirnya terjun bebas menjadi lima orang saja. Kelima orang itu adalah Christopel Paino (Tempo), Syamsul Huda (Antara), Wahyudin Mamonto (Antara), Farid Dihuma (Antara), dan Verrianto Madjowa (Tempo).

Namun, mereka tak patah arang. Meski dengan jumlah yang sangat sedikit, AJI Persiapan Kota Gorontalo mengambil peran yang sangat signifikan dalam hal mengkampanyekan ketidakadilan terhadap jurnalis, memerangi praktik amplop, dan budaya bantuan APBD terhadap media di Gorontalo. Dengan jumlah yang sedikit itu pula, AJI Persiapan Kota Gorontalo kerap menggelar berbagai kegiatan, seperti: pameran kriya dengan seorang seniman, I Komang Suarmika; kampanye penyelamatan lingkungan di hari bumi; diskusi dan aksi hari buruh; melakukan kampanye dan advokasi terhadap kekerasan jurnalis; pelatihan jurnalistik di kampus-kampus; dan beberapa kali menjadi pembicara utama dalam talk show di RRI, radio lokal dan televisi lokal.

Berbagai macam kegiatan yang dilakukan oleh AJI Persiapan Kota Gorontalo dengan jumlah anggota yang sangat sedikit itu, ternyata menarik perhatian para jurnalis-jurnalis yang bekerja di Gorontalo. Dan perlahan tapi pasti, jumlah anggota pun semakin bertambah hingga kembali menjadi 17 orang. Keanggotaan itu bertambah pula seiring dengan adanya beberapa wartawan bertiras nasional yang bertugas ke Gorontalo, seperti Kompas dan Tribun News.

***

SABTU, 17 November 2012. Bertempat di ruang sidang Universitas Negeri Gorontalo (UNG), AJI Kota Gorontalo menggelar Konferensi AJI Kota untuk pertama kalinya. Konferensi ini menghadirkan Koordinator Divisi Organisasi AJI Indonesia, Laban Ibrahim Laisila.

Konferensi diawali dengan diskusi publik dengan tema, “Independensi Media dalam Pemilukada Gorontalo”, dan menghadirkan pembicaranya antara lain ketua KPU Provinsi, Kapolda Gorontalo, akademisi, dan ketua AJI Kota Gorontalo. Diskusi ini dianggap penting karena dalam setiap pemilukada, khususnya di Kota Gorontalo, ancaman kekerasan terhadap jurnalis sangat tinggi. Begitu juga dengan keberpihakan media terhadap salah satu calon pasangan.

Usai diskusi, dilakukan konferensi dengan memilih presidium sidang. Tiga orang presidium yang terpilih adalah Wahyudin Mamonto (Antara), Jamil Massa (Kompas TV), dan Budi Susilo (Tribun News). Konferensi berjalan alot hingga sore hari. Ketika kesepakatan tidak tercapai untuk bermusyawarah, akhirnya jalan terakhir dipilih voting. Dari hasil voting, terpilih sebagai ketua AJI Kota Gorontalo periode 2012-2015 adalah Syamsul Huda (Antara), dan sekretarisnya Aris Prasetyo (Kompas).

Yang menarik dalam perjalanan AJI Kota Gorontalo, untuk pertama kalinya dalam sejarah dilakukan sidang etik terhadap Syamsul Huda, yang dianggap tidak profesional oleh perusahaan tempat dia bekerja, yaitu Lembaga Kantor Berita Antara. Oleh Antara, Syamsul Huda diwajibkan harus mencari iklan disela-sela pekerjaan mencari berita. Tentu hal itu bertentangan dengan undang-undang pers nomor 40 tahun 1999 dan kode etik yang telah disepakati oleh seluruh organisasi jurnalis di Indonesia.

Sidang etik dipimpin oleh tiga orang anggota majelis etik AJI Kota Gorontalo, yakni Basri Amin, Rahman Dako, dan Verrianto Madjowa. Sidang dilakukan di ruang Dharma Wanita, Universitas Negeri Gorontalo, dan terbuka untuk umum. Pada persidangan itu, ketiga pimpinan sidang telah memeriksa rekapan berita Syamsul Huda selama bekerja di Antara, dengan tujuan memastikan ada-tidaknya berita yang dianggap tidak profesional.

Dan akhirnya, sidang itu menghasilkan kesepakatan bahwa Syamsul Huda, ketua AJI Kota Gorontalo telah bekerja dengan sungguh-sungguh dan menjunjung tinggi profesionalismenya sebagai jurnalis di Antara. Dan selanjutnya, majelis etik AJI Kota Gorontalo akan melakukan sidang lanjutan dengan meminta tanggapan Kepala Biro Antara Gorontalo, Hence Paat. Sayangnya, itikad baik dari AJI Kota Gorontalo tidak mendapatkan jawaban dari Kepala Biro Antara.

Seiring waktu, AJI Kota Gorontalo kembali menggelar Konferensi Kota (Konferta) ke-2, Sabtu 19 Desember 2015. Berlangsung singkat, Debby Mano berhasil menjadi Ketua AJI Gorontalo bersama sekretaris terpilih Geril Dwira, mengalahkan dua pasangan calon lainnya, Syam Terrajana-Christofel Paino dan Farid Dihuma-Andri Arnold. Konferta juga turut dihadiri Sekjen AJI Indo, Arfi Bambani.

Bersamaan dengan Konferta, malam harinya dirangkaikan pula peluncuran Sarekat GoBlog (Gorontalo NgeBlog), yang tujuannya sebagai blog sindikasi Degorontalo.co dengan para Blogger di Gorontalo.

Konferta kali itu, mengusung tema “Rayakan Kontenmu, Cerdaskan Gorontaloku”, para Blogger diakomodir untuk bisa saling meramaikan konten, dengan ulasan-ulasan yang menyangkut adat, budaya, sosial, keragaman flora dan fauna, konservasi alam, politik, dan berbagai ulasan lain yang gunanya demi mencerdaskan masyarakat Gorontalo.

Kini, kiprah AJI Kota Gorontalo semakin lancar jaya di Gorontalo. Beberapa kali anggota AJI Kota selalu menjadi pilihan untuk menjadi pemateri ketika organisasi non pemerintah atau lembaga pemerintah menggelar pelatihan jurnalistik. Momen ini digunakan untuk menyebarluaskan prinsip-prinsip ke AJI-an kepada khalayak. AJI Kota Gorontalo turut pula mendukung dibentuknya Lembaga Pers Mahasiswa Merah Maron (Memar) di Universitas Negeri Gorontalo (UNG).

AJI Kota Gorontalo terus berusaha mandiri dengan mencari donatur untuk membangun roda organisasi agar berjalan efektif. AJI Kota Gorontalo pernah bekerja sama dengan Wetland International Indonesia Program yang didanai oleh Danida, sebuah lembaga donor dari Denmark, untuk melakukan kampanye penyelamatan mangrove dan lingkungan pesisir dalam menghadapi perubahan iklim.

Semoga AJI Kota Gorontalo tetap: Muda, Gembira, Berbahaya.